Press Release
INTERNATIONAL DAY AGAINST HOMOPHOBIA & TRANSPHOBIA
Kesehatan jiwa dan kesejahteraan
Setiap tanggal 17 Mei, Komunitas LGBTI di seluruh dunia memperingati International Day Againts Homophobia dan Transphobia (IDAHOT). Peringatan tersebut dilakukan sebagai bentuk selebraasi bagi kelompok marginal LGBTI di seluruh Dunia dalam menolak segala bentuk Stigma, Kekerasan, Diskriminasi terhadap komunitas LGBTI. Momentum IDAHOT tiap tahunnya juga menjadi momentum yang sangat penting bagi LGBTI di seluruh dunia secara umum dan di Indonesia secara khusus untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat atas berbagai pelanggaran-pelanggaran hak-hak LGBTI yang masih kerap berlangsung, serta mendorong seluruh pihak untuk dapat menghormati, melindungi, memenuhi, dan mempromosikan Hak Asasi Manusia yang setara bagi seluruh warga negara.
Tema global IDAHOT tahun 2016 ini adalah Mental health and Wellbeing (kesehatan Jiwa dan kesejahteraan) karena masih banyak orang-orang LGBTI di banyak Negara masih tergolong sebagai gangguan kejiwaan sehingga terapi konversi untuk “menyembuhkan” LGBTI masih menjadi acuan. Dengan mengangkat tema ini diharapkan diskursus mengenai depatologi (tidak lagi menganggap sebagai gangguan atau penyakit) orang-orang LGBTI di banyak Negara mulai meningkat sehingga meningkatnya kesadaran tentang kesehatan jiwa dan bahaya terapi konversi bagi kelompok LGBTI juga meningkat.
di Indonesia sendiri, kelompok LGBTI masih dianggap gangguan kejiwaan. Ini dibuktikan dengan pernyataan beberapa psikiater dan ahli jiwa di Indonesia. Perilaku lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) termasuk dalam gangguan kejiwaan. Informasi yang membenarkan perilaku LGBT adalah informasi yang salah (Pakar kedokteran jiwa, Guru Besar Fakultas Kedokteran UI, Prof Dr dr Dadang Hawari). Dan kita pasti tidak pernah lupa dengan pernyataan Ketua Seksi Religi, Spiritualitas, dan Psikiatri (RSP) Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) Fidiansjah pada acara Indonesian Lawyers Club di TV One , yang menyebut perilaku LGBT masih dikategorikan sebagai masalah kejiwaan.
Pernyataan yang dilontarkan beberapa psikiater dan ahli kesehatan jiwa Indonesia tersebut sungguh bertentangan dengan kenyataan bahwa sejak sejak tahun 1973, American Psychiatric Association menghapus kategori homoseksual sebagai gangguan jiwa dan Dalam acuan diagnostik para ahli psikiatri di seluruh dunia, yakni Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder(DSM) III tahun 1973 homoseksual juga tidak lagi dikategorikan sebagai gangguan jiwa. Pernyataan yang bertentangan tersebut juga menimbulkan stigma dan presepsi yang salah tentang orang-orang LGBTI. Bahkan Asosiasi Psikiatri Amerika Serikat (APA) menyatakan telah menyurati Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) guna mendorong perhimpunan tersebut untuk mempertimbangkan ulang kebijakan bahwa homoseksualitas masuk dalam kategori masalah kejiwaan.
Patologisasi LGBT berimplikasi pada usaha bebebrapa pihak untuk ‘menyembuhkan’ LGBTI dengan terapi konversi atau terapi reparatif. Beberapa lembaga mengklaim mampu mengubah orientasi seksual seseorang dengan pendekatan psikologis dan agama melalui terapi ini. Dalam pernyataan sikapnya, Perhimpunan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia (PDSKJI) bahkan membuat rekomendasi untuk Membuat panduan tatalaksana promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif bagi individu LGBT dari perspektif religi, spiritualitas dan kearifan lokal bangsa Indonesia.
Fakta terpenting tentang terapi konversi ini adalah bahwa terapi ini didasarkan pada suatu pemahaman tentang homoseksualitas yang telah ditolak oleh semua profesional utama kesehatan umum dan kesehatan mental. American Academy of Pediatrics, American Counseling Association, American Psychiatric Association, American Psychological Association,National Association of School Psychologists, dan National Association of Social Workers, yang semuanya mencakup lebih dari 477.000 profesional kesehatan umum dan kesehatan mental, bulat berpendapat bahwa homoseksualitas bukan suatu gangguan mental, dan dengan demikian tidak memerlukan suatu ‘penyembuhan’.
Terapi konversi atau penyembuhan terhadap LGBT sangat berbahaya dan merusak mental dan daya hidup orang-orang LGBT. Menurut Ariel Shidlo dan Michael Schroeder dalam penelitian mereka yang berjudul: “Changing Sexual Orientation: a Consumers Report” Bahaya dari upaya pengubahan orientasi seksual adalah:
- Menurunnya harga diri
- Meningkatnya kebencian ke diri sendiri dan persepsi negatif terhadap homoseksualitas
- Kebingungan, depresi, rasa bersalah, ketidakberdayaan, keputusasaan, malu, penarikan diri dari lingkungan sosial, dan kehendak bunuh diri yang meningkat
- Peningkatan penyalahgunaan zat dan perilaku seks berisiko
- Perasaan telah didehumanisasi dan tidak jujur pada diri sendiri
- Kehilangan iman
- Rasa membuang waktu dan sumber daya
- Bukan tidak mungkin juga merasa marah dan kecewa kepada penyedia jasa upaya pengubahan orientasi seksual
Terkait dengan permasalahan di atas kami komunitas LGBTI di seluruh Indonesia menuntut kepada:
- Perhimpunan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia (PDSKJI) untuk tetap berpegang teguh pada keilmuan nya bahwa LGBT bukan merupakan gangguan mental tanpa dipengaruhi nilai-nilai personal.
2. Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan untuk menolak segala bentuk penyedia layanan terapi untuk mengubah orientasi seksual karena merupakan sebuah ancaman serius bagi kesehatan jiwa
“HakLGBTIQ adalah Hak Asasi Manusia”
Jakarta, 17 Mei 2016
Arus pelangi